Sejarah Nagari Matua Hilia atau Asal Usul Nagari Matua Hilia berdasarkan peristiwa dan cerita orang tua-tua dahulu. Sebelumnya penduduk Matua Hilia hidup secara berkelana dari satu daerah ke daerah lain, dalam berkelana ini dikepalai oleh kepala rombongan atau nama lain Muncak Buru. Setelah lama berkelana penduduk sampai memudiakkan batang Matur, kemudian kepala rombongan melihat sebuah dataran hijau sehingga timbullah niat untuk membangun Huma dan Nagari sesuai dengan garis adat yang mereka terima dari nenek moyang mereka Sri Maharajo Dirajo dan Datuak Suri Dirajo dengan berlandasan paham Demokrat yang digariskan Oleh Datuak Parpatiah Nan Sabatang dari Rakyat Oleh rakyat dan Untuk Rakyat.Untuk membangun huma dan Nagari, Maka dipanggillah semua pemburu untuk mendengarkan pituah dari kepala Kelompok. Mereka semua duduk di padang hijau, sedangkan kepala kelompok yang disebut juga dengan Muncak Buru duduk bersila diatas batu besar.
Dalam musyawarah tersebut akhirnya diperoleh kata sepakat untuk merobah cara penghidupan mereka dari berburu pindah ke cara bercocok tanam, salah seorang dari mereka bertanya kepada muncak buru “ tanah mana yang akan kita olah?” dengan tenang muncak buru menjawab, jika itu mungkasuik tuan-tuan “ Iko Tanah “ katanya. Dengan kata Iko Tanah tadi sampai sekarang daerah tersebut tetap bernama “ Iko Tanah “. Sedangkan batu tempat muncak buru duduk bersila dalam memberi pituah di beri nama “ Batu Baselo “ sampai sekarang daerah tersebut tetap bernama “ Batu baselo “.
Disebelah barat Batu baselo tersebut di temukan hamparan tanah yang sangat luas, maka ditunjuklah daerah ini sebahagian daerah perkampungan untuk mendirikan perumahan bagi anak kemenakan. Dibuatlah rumah sebaris panjang, dengan pekarangan yang sangat luas bdisebut juga dengan dengan halan luas. Dialek minang menjadikan hlan luas sebagai “ Laman Gadang “ sehingga dari saat itu amapi sekarang daerah tersebut bernama “ LAMAN GADANG “.
Kira-kira 200 M dari Laman Gadang ini ditemuilah sumber air bersih yang membersit dari bumi. Menurut para ahli pengairan jumlah air ini perdetiknya + 40 M3. Demikianlah besarnya sumber air bersih ini walaupun letaknya agak jauh dibawah. Lembah ini kemudian diberi nama “ PINCURAN GADANG “.
Perjalanan waktu selalu membawa perubahan, terutama bagi penduduk yang tadinya sedikit lama-lama makin bertambah tiada terasa. Laman Gadang menjadi penuh sesak oleh penduduk. Oleh karena itu untuk keselamatan kaum, kembali kaum pengembara ini mengadakan mufakat menentukan areal baru untuk digarap. Sebelum memberi petunjuk dan pituah, diingatkan lagi garis-garis adat yang akan dipakai, demikian pula jumlah suku tidak boleh berubah dari yang ada sekarang, karena suku inilah kelak yang akan menentukan seseorang dengan saudaranya. Diikrarkanlah sumpah setia, selama dunia ini berkembang tidak akan menimbulkan huru-hara, tidak akan berbuat serong dalam bersaudara. Bila terjadi perselisihan pendapat atau benturan dalam menggariskan adat maka harus dicari air yang jernih, sayak yang landai, harus diperundingkan dengan yang tua-tua, disebut dalam pituah adat :
Kemanakan barajo ka mamak, Mamak barajo ka panghulu
Panghulu barajo ka mufakat, Mufakat barajo ka alue
Alue barajo ka patuik dan mungkin,
Patuik dan mungkin barajo ka nan bana
Bana itulah nan manjadi rajo
Selanjutnya dipesankan dalam pituah adat :
Kaluak paku kacang b alimbiang,
Tampuruang lenggang lenggokkan
Baok malenggang ka surau aso,
Anak dipangku kamanakan dibimbiang
Urang kampuang dipatenggangkan,
Tenggang nagari jan binaso
Setelah semua yang hadir di Laman Gadang ini mendengar semua Pituah dan Petunjuk, dibagi dualah jumlah yang hadir dalam pertemuan itu. Sebagian “mengatur” Nagari sebelah Mudiak, sedangkan yang separoh lagi tetap tinggal di Laman Gadang untuk mengatur Nagari sebelah Hilia. Yang mula katanya ialah “mengatur” karena mereka diberi hak mengatur Nagarinya masing-masing. Kelompok yang pergi ke sebelah Mudiak diharuskan mengatur Nagarinya sebelah Mudiak. Demikian juga halnya dengan yang tinggal disebelah Hilia diwajibkan mengatur Nagarinya yang disebelah hilia. Jadi ada kelompok yang mengatur Nagari disebelah Mudiak dan adapula kelompok yang mengatur disebelah Hilia.
Demikian terjadinya “Matua Mudaik” dan “Matua Hilia”. Sampai sekarang Nagari sebelah Mudiak bernama “Kenagarian Matua Mudiak” yang diperintah oleh seorang Wali Nagari. Demikian juga Nagari sebelah hilir bernama “Kenagarian Matua Hilia” dan diperintah pula oleh seorang Wali Nagari. Untuk keamanan anak kemenakan baik yang di Matua mudiak maupun yang di Matua Hilia, dibuatlah parit yang panjang, mulai dari timur dekat Iko Tanah sampai ke barat ke kaki Gunung Tandikat. Pekerjaan ini memakan waktu berabad-abad sampai masuknya agama Islam. Orang-orang yang tinggal disini atau Nagari yang berparit panjang ini dinamailah “Parit Panjang”. Sampai sekarang daerah ini diperintah oleh seorang wali Nagari dengan nama “Kenagarian Parit Panjang”.
Setelah adanya pembagian kelompok yang akan mengatur rombongan yang pergi ke sebelah mudik dan kelompok yang kesebelah hilir, demikian juga halnya rombongan yang ditetapkan mengatur Nagari yang berparit panjang. Demi hari depan anak kemenakan agar hidup rukun damai lebih terjamin dikembangkanlah pertanian dan peternakan. Kalau tadinya rusa, kijang, kambing, banteng, babi, dan lainnya sebagai binatang buruan dijadikan santapan pada saat itu juga tanpa memikirkan untuk hari esok, maka sekarang semua ternak buruan harus dipelihara dan dikembang biakkan. Demikian pula pertanian, kalau tadinya hanya memakan umbi-umbian, jagung, pisang yang diperoleh secara kebetulan maupun yang ditanam bersifat sampingan maka sekarang bercocok tanam harus merupakan tujuan pokok. Apabila ternak telah dikembang biakkan dan bercocok tanam telah dikembangkan, dengan sendirinya kedamaian yang diidam idamkan oleh nenek moyang mereka sejak turun menurun dari Benua Ruhun sampai ke lereng merapi, sekarang akan menjadi kenyataan. Kemakmuran muncul dengan sendirinya dan ini sejarah singkat dari Nagari Matua Hilia.
Di Nagari Matua Hilia terdapat beberapa destinasi wisata alam yang akan memanjakan mata, dan menguji adrenalin para wisatawan yang akan berkunjung kenagari Matua Hilia.
Di Nagari Matua Hilia berdiri sebuah Masjid Tua bernama Masjid Utama Picuran Gadang yang termasuk situs cagar budaya dan disebelah Masjid terdapat sebuah pemandian dari sumber mata air alami,