Jika anda bertamasya atau hanya sekedar lewat di Alahan Panjang, Kabupaten Solok, jangan lupa untuk menyempatkan diri salat di masjid tertua di Sumbar, di Masjid Tuo Kayu Jao.
Dari jalan raya, arah Padang – Alahan Panjang hanya ada sebuah gapura kecil petunjuk keberadaan masjid tua itu di seberang jalan, tepatnya di sebuah tikungan tajam Nagari Batang Barus. Persis di seberang Masjid Raya Nurul Ihsan Kayu Jao.
Tak tampak wujud masjid penuh sejarah itu dari jalan raya. Anda harus masuk lewat gapura itu dan melewati tanjakan curam sepanjang sekitar 300 meter untuk mencapai masjid tersebut.
Posisinya berada di tengah lembah yang dikelilingi perbukitan. Walau sebetulnya posisi masjid itu sudah berada di ketinggian 1.152 meter dari permukaan laut. Tepatnya di Jorong Kayu Jao, Kenagarian Batang Barus, Kecamatan Gunung Talang, Solok, Sumatra Barat.
Atap ijuk berbentuk gonjong menjadi ciri khas tersendiri masjid yang berdiri sejak tahun 1567 itu. Dinding, plafon, lantai dan seluruh tiang bangunan masjid terbuat dari bahan kayu, kecuali tiang tengah yang telah diganti dengan beton oleh masyarakat setempat karena mulai lapuk dimakan usia.
Di halaman masjid, tepatnya pada sisi timur ada bedug yang diberi pelindung dengan tiang kayu dan atap ijuk. Juga terdapat aliran sungai kecil yang airnya begitu jernih dengan ikan – ikan kecil di dalamnya.Air tersebut juga digunakan oleh jamaah untuk berwudhu. Dingin dan segar, membuat Anda mau berlama – lama di sana.
Suasana dalam masjid meski agak usang karena material bangunan yang sudah tua, tetapi tetap terasa sejuk, walaupun tanpa pendingin udara.Selain itu, juga ada taman yang ditanami bunga – bunga indah di sekitar masjid, membuat sedap mata memandang, memotret dan berlama–lama di kawasan masjid.
Masjid yang sudah ditetapkan sebagai cagar budaya tersebut, sesuai informasi yang tertulis di prasasti informasi menyebutkan Masjid Tuo Kayu Jao dibangun oleh Angku Masaur (Angku Masyhur) dan Angku Labai.
Angku Masyhur dikenal sebagai imam masjid tersebut yang memiliki suara merdu, pengucapan yang berirama, bacaan yang benar dan fasih, sehingga Angku Masyhur menjadi idola banyak orang saat itu.
Angku Masyhur meninggal saat menjadi imam shalat Jumat, dan dimakamkan di mihrab masjid.
Selanjutnya, Angku Labai dikenal sebagai bilal di masjid tua itu. Tak kalah dengan Angku Masyhur, Angku Labai juga punya suara yang sangat merdu dan khas, sehingga ketika azan orang yang mendengar dengan ringan hati datang ke masjid.
Ada banyak cerita menarik mengenai Angku Labai. Salah satunya, adalah kemampuannya berpindah – pindah dari satu tempat ke tempat lain dengan singkat, dan dianggap memiliki ilmu yang tinggi.
Angku Labai dimakamkan di Jirek (langgar) yaitu di lokasi di mana beliau biasa sholat di luar masjid.
Adapun, arsitek Masjid Tuo Kayu Jao secara keseluruhan dipengaruhi corak Minangkabau. Memiliki tatanan atap tiga tingkat yang terbuat dari ijuk dengan ketebalan 15 cm. Permukaan dibuat tidak datar alias cekung, cocok untuk daerah tropis karena lebih cepat mengalirkan air hujan ke bawah.
Antara satu tingkatan di setiap atap, terdapat celah untuk pencahayaan, sehingga masjid tetap mendapatkan cahaya yang cukup dari arah atas.
Dio Farhan Harun dkk dalam artikel ‘Karakter Visual Bangunan Masjid Tuo Kayu Jao di Sumatera Barat’ dalam Arsitektur E-Jurnal, Volume 8 No 2, November 2015 menulis, gaya bangunan masjid merupakan gabungan antara corak Islam dan Minangkabau.
Beberapa ornamen yang terlihat, yakni ornamen dekoratif dengan motif hasil stilisasi dari tumbuhan pada dinding atap masjid, yang terletak antara atap tingkat pertama dan kedua.
Ornamen dekoratif dengan motif flora, menurut para penulis, juga terdapat pada dinding mihrab Masjid Tuo Kayu Jao. Sementara, ornamen dekoratif selompat, ada pada dinding kolong, yang melambangkan kekuatan hukum berada di tangan pangulu.
Di dalam masjid ada mimbar yang dibuat indah dan megah juga dengan motif ukiran tumbuh-tumbuhan. Mimbar diperkirakan berumur sama dengan masjid.
Atap masjid tersebut disangga 27 tiang yang merupakan simbolisasi dari enam suku di sekitar masjid. Masing–masing terdiri dari empat unsur pemerintahan ditambah tiga unsur dari agama, yakni khatib, imam, dan bilal.
Masing-masing tiang berukuran lingkar 25 cm hingga 30 cm. Tiang masjid hanya diletakkan di atas batu sandi sebagai pondasi. Tiang-tiang terbuat dari kayu kelas satu, dengan jenis yang belum diketahui.
Simbolisasi juga terdapat di jendela dengan jumlahnya yang ganjil sebanyak 13 buah, yang mengandung makna 13 rukun shalat.
Ragam hias dan motif seni ukir Minangkabau yang terdapat berbagai arstitektur masjid menunjukkan, orentasi kepada alam. Sesuai pepatah yang mengatakan ,â€alam takambang jadi guru, cancang taserak jadi ukia“. Filosofi adat yang masih dipakai masyarakat Minang hingga kini.
Beberapa sumber menyebut Masjid Tuo Kayu Jao sudah ada sejak 1599. Sumber lain, situs resmi Pemkab Solok, bahkan menyebut lebih tua dari itu, yakni tahun 1567. Yang pasti, Buya Masoed Abidin dan Nusyirwan Effendi dalam Buku ‘Surau Kito’ menulis, masjid ini sudah berusia lebih dari 400 tahun.
Dengan demikian, Masjid Tuo Kayu Jao tercatat menjadi masjid tertua di Ranah Minang yang masih berdiri hingga kini. Bahkan, bisa disebut jadi salah satu yang tertua di Indonesia. Masjid yang membawa suasana pengembangan Islam pada zaman sebelum Padri. Suasana Islam dari Minangkabau masa abad ke-16 silam.